Karier Rubin
di bidang robotika nampaknya semakin cerah, namun hidupnya berubah
gara-gara liburan di Cayman Island pada tahun 1989. Saat sedang
mengunjungi kepulauan tropis di Jamaika itu, Rubin tak sengaja bertemu
dengan seorang bernama Bill Caswell. Pria ini sedang tidur di tepi
pantai, terusir dari sebuah cottage setelah bertengkar dengan pacarnya.
Andy menawarkan pria itu tempat tinggal dan sebagai balas budi, Casswell
menawarkannya pekerjaan. Kebetulan yang menakjubkannya adalah pria itu
bekerja di Apple. Di Apple, Rubin mengalami masa-masa yang
menyenangkan. Pada saat itu, Apple masih dalam kondisi baik berkat
komputer Macintosh. Budaya Apple pun menular pada diri Rubin. Di sana ia
sempat melakukan kejahilan, seperti memprogram ulang sistem telepon
sehingga ia bisa berpura-pura sebagai sang CEO, John Sculley. Lelucon
seperti itu mungkin akan disukai Steve Jobs, pria yang gemar membuat
lelucon lewat telepon, namun ketika itu adalah periode Apple tanpa Jobs.
Dari
bagian manufaktur, Rubin pindah ke bagian riset di Apple. Kemudian,
pada tahun 1990, Apple melakukan spin off untuk membentuk sebuah
perusahaan bernama General Magic dan Rubin ikut di dalamnya. General
Magic berfokus pada pengembangan perangkat genggam dan komunikasi. Para
engineer yang gila kerja, termasuk Rubin tentunya, berhasil
mengembangkan sebuah peranti lunak bernama Magic Cap. Sayangnya, Magic
Cap tidak mendapat sambutan dari perusahaan handset dan telekomunikasi.
Beberapa yang menerapkan Magic Cap hanya melakukannya sebentar. General
Magic pun akhirnya hancur.
Beberapa pengembang di
General Magic, bersama beberapa veteran Apple, kemudian mendirikan
Artemis Research. Perusahaan ini mengembangkan sesuatu bernama webTV,
sebuah upaya awal untuk menggabungkan Internet dengan televisi. Rubin
bergabung dengan Artemis untuk ikut mengembangkan webTV tersebut. Saat
Microsoft membeli Artemis, di 1997, Rubin pun ikut bergabung dengan
perusahaan raksasa itu. Episode gila khas Rubin kembali terjadi di
Microsoft. Rubin membangun sebuah robot yang dilengkapi kamera untuk
mengerjai rekan-rekannya. Gilanya, robot itu terhubung ke Internet dan
pada satu insiden sempat dibobol oleh pihak di luar Microsoft. Pada
tahun 1999, Rubin keluar dari webTV (dan artinya, ia tak lagi menjadi
karyawan Microsoft). Ia kemudian menyewa sebuah toko di Palo Alto,
California, dan menyebut toko itu sebagai laboratorium.
Di
tempat yang penuh dengan berbagai mainan robot koleksi Rubin, lahirlah
sebuah ide untuk produk baru. Bersama beberapa rekannya, Rubin kemudian
mendirikan Danger Inc. Sukses diraih Danger melalui sebuah perangkat
bernama Sidekick. Aslinya, perangkat ini dinamai Danger Hiptop, namun di
pasaran ia dikenal sebagai T-Mobile Sidekick.
“Kami
ingin membuat sebuah perangkat, kira-kira seukuran batang cokelat,
dengan harga di bawah 10 dolar dan bisa digunakan untuk men-scan sebuah
benda serta mendapatkan informasi soal benda itu dari Internet. Lalu,
tambahkan perangkat radio dan transmiter, jadilah Sidekick,” tutur Rubin
soal Sidekick.
Saat ini, Sidekick memang sudah
terlihat usang, namun pada masanya, Sidekick adalah sebuah benda yang
ganjil dengan konsep teknologi yang melampaui zaman. Perangkat itu,
menurut Rubin, merupakan pengakses data dengan kemampuan telepon. Ketika
muncul di pasaran, Sidekick harus menghadapi kenyataan bahwa PDA sedang
kehilangan pasar. Namun, Rubin menegaskan bahwa Sidekick bukanlah PDA.
“Seharusnya,
orang-orang bukan bertanya apakah ini PDA atau ponsel. Mereka harusnya
bertanya, apakah ini platform untuk pengembang pihak ketiga? Ini adalah
hal yang baru. Ini adalah untuk pertama kalinya sebuah ponsel dijadikan
platform untuk pengembang pihak ketiga,” kata Rubin.
Sekarang,
apa yang dikatakan Rubin bukan hal aneh lagi. Lihat saja Apple dengan
jutaan aplikasi pihak ketiga yang hadir di iPhone. Hal lain yang
dilakukan Danger, yang pada masa itu belum terpikirkan, adalah
menjembatani antara pembuat handset dengan penyedia jaringan. Danger
memutuskan untuk berbagi keuntungan dengan T-Mobile dalam layanan
Sidekick. Dengan demikian, Danger tak mengandalkan penjualan handset
sebagai sumber penghasilan satu-satunya, namun juga dari layanannya. Ini
membuat perusahaan pembuat perangkat (Danger) memiliki tujuan yang sama
dengan penjual perangkat (operator telekomunikasi T-Mobile).
Rubin
meninggalkan Danger pada tahun 2004. Pada 2008, perusahaannya itu
dibeli oleh Microsoft. Sang raksasa rupanya tertarik untuk memasuki
bisnis ponsel dengan lebih agresif lagi. Nilai yang ditawarkan pun
tidak tanggung-tanggung. Menurut kabar yang beredar Microsoft membeli
Danger dengan harga 500 juta dolar. Namun, pembelian Danger oleh
Microsoft ternyata tidak membawa hasil yang berbunga-bunga. Para
eksekutif yang tersisa dari Danger digabungkan oleh Microsoft ke dalam
Mobile Communication Business, dari divisi Entertainment dan Devices.
Kemudian, mereka diminta mengembang sebuah ponsel yang dikenal dengan
sebutan Project Pink. Targetnya, ponsel ini harus bisa menjadi pesaing
iPhone dan BlackBerry. Menurut ComputerWorld, Project Pink menderita
penyakit klasik di sebuah perusahaan besar. Karena proyeknya cukup
bergengsi, ia diperebutkan oleh beberapa pihak. Dan lebih parahnya lagi,
perkembangannya makin melenceng dari yang diinginkan. Contohnya,
awalnya ponsel itu akan dikembangkan dengan basis Java namun kemudian
diminta untuk menggunakan sistem operasi Microsoft.
Sayangnya,
Windows Phone 7 yang seharusnya bisa digunakan untuk Project Pink,
belum siap. Walhasil, saat diluncurkan, ponsel yang akhirnya bernama
Microsoft Kin ini menggunakan sistem operasi Windows untuk ponsel yang
“lawas”. Sambutan pasar yang dingin pun membuat Kin akhirnya harus
ditutup, hanya beberapa bulan sejak diluncurkan. Nasib layanan Sidekick,
yang diwarisi Microsoft dari Danger, juga tak terlalu baik. Dalam satu
insiden, yang masih belum diketahui pasti apa penyebabnya, pelanggan
Sidekick tiba-tiba kehilangan semua data mereka. Satu hal yang perlu
diketahui, semua data pada Sidekick memang disimpan ‘di awan’ (dalam hal
ini pada server yang dikelola Microsoft dan bisa diakses melalui
Internet). Nah, ketika server itu mengalami gangguan, semua data
pengguna Sidekick pun lenyap.
Pada awal tahun 2002,
Rubin sempat memberikan sebuah kuliah di Stanford mengenai pengembangan
Sidekick. Karena, meski penjualan Sidekick di pasaran tak meledak,
perangkat itu dinilai cukup baik dari sisi engineering. Sebuah kebetulan
bahwa Larry Page dan Sergei Brin, pendiri Google, ikut hadir dalam
kuliah tersebut. Selepas kuliah, Page menemui Rubin untuk melihat
Sidekick dari dekat. Rupanya, Page melihat, perangkat itu menggunakan
search engine Google. “Keren,” ujar Page. Ini adalah sebuah titik tolak
bagi Page untuk sebuah ide yang dalam beberapa tahun kemudian akan
terwujud, sebuah ponsel Google. Kurang lebih dua tahun setelah itu,
Rubin telah meninggalkan Danger dan mencoba melakukan hal-hal baru.
Termasuk di antaranya mencoba memasuki bisnis kamera digital sebelum
akhirnya ia mendirikan Android.
Rubin
menginkubasi Android saat ia menjadi enterpreneur-in-residence bersama
perusahaan modal ventura Redpoint Ventures di 2004. “Android berawal
dari satu ide sederhana, sediakan platform mobile yang tangguh dan
terbuka sehingga bisa mendorong inovasi lebih cepat demi keuntungan
pelanggan,” ujar Rubin. Pada Juli 2005, 22 bulan setelah Android
berdiri, perusahaan itu ditelan oleh raksasa Google. Rubin pun memilih
untuk bergabung dengan Google. Ketika membeli Android Inc., Google tidak
menyebutkan dengan rinci berapa harga yang dibayarkan dan apa yang
ingin dilakukannya dengan perusahaan itu. Bahkan, Google menyebut
pembelian itu sebagai akuisisi terhadap sumber daya manusia dan
teknologinya saja. Selain Andy Rubin, Google memang meraup banyak
orang-orang brilian dari Android. Ini termasuk Andy McFadden (pengembang
WebTV bersama Rubin, dan juga pengembang Moxi Digital); Richard Miner
(mantan Vice President di perusahaan telekomunikasi Orange); serta Chris
White (pendiri Android dan perancang tampilan serta interface WebTV).
Bersama
Google, Android diberi kekuatan ekstra. Perusahaan asal Mountain View,
California itu kemudian membentuk Open Handset Alliance untuk
mengembangkan perangkat bagi Android.
“Google tak bisa
melakukan segalanya. dan kami tidak perlu itu. Itulah mengapa kami
membentuk Open Handset Alliance dengan lebih dari 34 rekanan,” ujar
Rubin.
Perangkat Android yang hadir pasaran memang
bukan buatan Google. Petarung kelas berat Android termasuk Motorola,
Samsung, dan HTC masing-masing melemparkan ponsel Android andalan mereka
ke pasaran.
“Sekadar melemparkan peranti lunak
tidaklah cukup,” Rubin menjelaskan, “Anda perlu handset yang
dikembanglan untuk peranti lunak ini dan penyedia jaringan yang mau
memasarkannya.”
Di AS, Motorola Droid jadi salah satu
senjata Verizon Wireless melawan AT&T dengan iPhone-nya. Sedangkan
Nexus One, ponsel Android Google buatan HTC, hadir tanpa “ikatan dinas”
pada satu operator tertentu.
Kehadiran Android
nampaknya berusaha menggoyang dominasi pasar ponsel di AS. Di
Indonesia, Android pun nampak siap jadi primadona setelah muncul dengan
gegap gempita dalam Indonesia Celullar Show 2010.
“Saya
tahu bakal ada FUD (fear, uncertainty, doubt). Namun, kami telah
melihat beberapa kompetitor mengikuti apa yang kami lakukan. Jadi
sepertinya, kami memang di jalan yang benar,” ujar Rubin.
Referensi :
- http://al-rasyid.blog.undip.ac.id/tag/andy-rubin-android/
- http://en.wikipedia.org/wiki/Andy_Rubin
- http://www.crunchbase.com/person/andy-rubin